BlackBerry Baru untuk Iren
Friday, March 25, 2011 by Detta Paramaditha in Labels: , , ,

as published on Good Housekeeping Indonesia - December 2010
          
            “Van, uang belanjaku kurang nih. Kemarin kan kita banyak habis untuk pengeluaran Lebaran. Bisa kamu transfer ke aku sekitar 2 juta nggak?” tanya Iren sambil memasukkan susu dalam keranjang belanja.
            “Aduh kamu boros sekali sih, Ren. Tambahan 2 juta habis buat apa aja? THR jangan dihabiskan semua ah! Ingat lho kebutuhan Naia makin lama makin banyak. Kita harus lebih ketat dalam pengeluaran.”
            “Lah memang kamu aja yang perlu THR? Bi Yayah dan Mang Oyo kan perlu kita kasih THR, biar nanti habis Lebaran kita tetep punya pembantu dan supir. Erna juga perlu THR karena Naia sudah cocok sama dia dan aku nggak mau cari baby sitter lagi. Belum lagi biaya mudik kita ke Serang kemarin, ngasih amplop buat saudara-saudara kamu. Aku tuh nggak dapet apa-apa selain satu baju baru, sama kayak kamu dan Naia. Jadi boros yang mana maksud kamu, Van?”
            “Aku juga sudah nggak ada uang lebih lagi, Ren. Cuma cukup untuk ongkos transport sama makan siangku saja. Kamu nggak bisa nunda kepentingan yang lain? Tunggu sampai gaji bulan depan masuk lah, bisa kan?”
            “Kalau kamu nggak keberatan makan tumis buncis dan oseng pare 2 minggu ke depan sih aku nggak masalah, Van. Uang cuma cukup untuk susu dan popok Naia ya, jadi kamu jangan protes!”
            “Tega amat sih kamu, sayang. Nanti kalo aku rasanya sepet gimana dong, Iren maniskuuu….” sergah Irvan setengah loncat dari kursi kerjanya.
            “Ya kalau uangnya nggak ada aku mau bilang apa, Irvan gantengkuuuu… Ganteng tapi pahit, karena uang belanja saja nggak ada. Kamu tuh yang kurangi jatah rokokmu dong, demi kemaslahatan keluarga!” balas Iren setengah berteriak dari handphone nya.
            “Lho, kok jadi bawa-bawa uang rokokku sih? Itu kan sudah jadi variable tetap pengeluaran bulanan. Jangan dipotong dong, sayang….”
            “Sudah ah, aku malas ribut masalah uang. Ya sudah kalo nggak ada tambahan, 2 minggu ke depan kita nggak makan daging dan jajan ke luar. Tapi kamu jangan protes karena uangnya kan memang nggak ada. Nanti kamu pulang jam berapa, Van?”
            “Jam setengah delapan dari kantor. Semoga nggak terlalu macet ya. Aku masih mau main sama Naia sebelum dia bobok. Besok aku harus ke KL dan Hong Kong lagi seminggu untuk cek proyek jaringan sistem otomatisasi. ”
            “Makan di rumah?”
            “Iyya, kan kamu bilang nggak boleh makan di luar…”
            “Oke, nanti kumasakkan ikan asin dan oseng pare ya!”
            “Istri tegaaaaaa…!!!!!” jerit Irvan dengan kesal.
* * * * *
            “Iren sayaaaaang….”
            “Hmmmmh….?” jawab Iren dengan malas sambil mengunyah siomay.
            “Kita nikah sudah berapa lama ya?”
            “Pakai tanya lagi, memang kamu nggak bisa menghitung apa?”
            “Ah kamu nggak romantis deh! Tahun lalu aku cuek saja, kamu akhirnya ngambek seminggu. Sampai Naia jadi rewel karena ngambekmu pengaruh ke air susu kamu yang nggak lancar.” rungut Irvan sambil melipat korannya di meja makan.
            “Justru karena kamu tahun lalu sikapnya seperti itu, tahun ini aku nggak berharap banyak. Malas aku kalau kecewa lagi, Van!”
            “Ah kamu deh ngambeknya kok sampai setahun sih? Ya sudah, aku mau membayar semua kesalahanku tahun lalu deh. Tapi jangan ngambek lagi dong sayang…”
            “Hahaha, kamu ini kok kayak hutang aja pakai dibayar. Lunas apa nyicil nih?”
            “Kredit Tanpa Agunan. Kok jadi ngawur sih? Kamu deh, mood romantisku jadi hilang nih!”
            “Ya maaf, Irvan sayang. Jadi kamu mau membayar kekecewaanku dengan apa nih?” tanya Iren sambil menggelendot manja.
            “Dicicil boleh kan ya?”
            “Tuh kan, kamu deh!”
            “Hahaha, okay. Kita besok keluar untuk makan malam yang romantis ya. Jadi kamu harus dandan yang cantik. Setelah itu nanti aku akan kasih kejutan lain deh!”
            “Wah, benar nih? Kita sudah lama juga ya nggak makan malam di luar. Tumben kamu mendadak murah hati begini, setelah kemarin-kemarin selalu kasih alasan untuk penghematan.”
            “Ya aku kan juga harus menabung untuk surprise ini, Ren. Maaf ya kalau aku sempat agak ketat masalah pengeluaran sama kamu beberapa bulan terakhir ini. Tapi kamu pasti senang dengan apa yang aku persiapkan buat kamu.” kata Irvan sambil  memeluk Iren dari belakang.
            “Apa sih Van? Kamu kok hobi sekali bikin aku penasaran!”
            “Hehehe, untuk pancingan aku akan kasih satu kejutan untuk kamu malam ini, Ren. Ini sebuah BlackBerry Onyx putih buat kamu. Aku harap kamu suka sama kado ini ya, sayang…”
            “Aduh sayang, ini kan harganya mahal sekali. Kamu kok sampai beli ini buat aku sih? Kalaupun beli BlackBerry kan ada yang harganya lebih terjangkau untuk sekedar alat komunikasi saja.” Iren terbelalak sambil menimang kotak pemberian Irvan.
            “Aku nggak mau beli barang murah untuk isteriku tersayang, dong. Lagipula aku juga pakai BlackBerry Onyx warna hitam. Biar sepadan begitu maksudku. Aku juga mau komunikasi kita lebih lancar. Biar aku juga bisa selalu lihat foto-foto Naia langsung dari kamu. Aku nggak mau kesibukan kerjaku yang makin menggila belakangan ini menjauhkan aku dari keluargaku, dari kamu dan perkembangan Naia.”
            “Duh, kamu baik sekali deh Van. Terima kasih ya kadonya, aku suka sekali. Aku juga kadang sedih karena kamu sering kelewatan momen dalam perkembangan Naia. Sebagai ibunya memang sudah tugasku mengawasinya, sampai aku rela meninggalkan pekerjaanku untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Tapi aku kadang berharap kamu bisa melihat sendiri saat Naia pertama kali panggil ‘Mama’ atau bisa jalan. Aku nggak sabar untuk bisa memakai gadget ini. Kamu ajari aku ya malam ini?”
            “Pastinya sayangku. Jadi kalau kamu mau buka Facebook dari BlackBerry caranya….”
* * * * *
            “Iren, akhirnyaaaa!!!”
            “Hey….”
            “Kamu kemana aja sih 2 hari ini? Aku benar-benar putus asa nggak bisa menghubungi kamu selama ini, tahu??!”
            “Aku minta maaf, kemarin aku sibuk sekali karena Irvan mendadak menghujaniku dengan kejutan ulang tahun perkawinan kami. Tidak hanya sebuket bunga mawar dan makan malam, tapi juga BlackBerry baru.”
            “Wow, kok dia mendadak begitu sayang sama kamu?”
            “Sebelumnya dia juga selalu sayang padaku, San.” Iren berkata lirih sambil menggigit bibirnya.
            “Tapi kamu nggak bahagia dengan perkawinanmu. Kamu merasa terkungkung di rumah kan, berkutat dengan urusan domestik. Lalu semuanya berubah saat dia memberi kamu kado BlackBerry, begitu?”
            “Aku bukan nggak bahagia. Aku cuma jenuh dan aku harap kamu nggak memutar balikkan fakta itu.”
            “Aku merasa Irvan merenggut kamu dariku dengan memaksa kamu berhenti kerja. Aku nggak bisa lagi ketemu kamu setiap hari, menghabiskan 8 jam bersama kamu.”
            “Itu pilihanku juga, Ikhsan. Aku ingin langsung membesarkan Naia. Dan kamu tahu aku akan selalu memilih Irvan dan Naia ketimbang kita. Ingat, kita sudah berjanji tak mau menerabas batas itu, bukan?”
            “Ya, aku tahu aku bukan dan tidak pernah jadi prioritas di dalam hidupmu, Iren. Sampai kapanpun penantianku akan sia-sia kan? Jadi, berapa nomer PIN BlackBerry mu? Sini aku add!”
* * * * *

Post a Comment